Senin, 30 Desember 2013

39.Cerpen : Lira dan Nasa






Air hujan menetes pelan, gerimis akhir akhir ini datang dengan intensitas yang lebih banyak, hampir setiap hari. Dan aku tidak suka itu, karena akan banyak hal yang terganggu karena hujan. Aku tak bisa bermain basket, tak bisa pergi kemanapun, dan harus basah kuyup ketika pulang kerumah, dan yang paling kubenci adalah aku harus mengingat kejadian setahun yang lalu. Sama seperti hari ini, saat air dengan bangganya jatuh ketanah. Jam pulang sekolah sudah lama berdering, tapi banyak murid yang masih di sekolah, mungkin menunggu hujan reda.
Hampir setahun yang lalu, ketika aku pertama kali merasakan perasaan yang aneh mulai merasuk, dan juga ketika aku mulai tak bisa berlari dengan sempurna lagi. Dua kabar yang saling bertolak belakang yang hampir membuatku frustasi kala itu. Aku senang karena ketika tahu  bahwa rasa itu adalah cinta, kepadamu. Dan hari itu juga aku harus menerima kenyataan bahwa aku tak bisa berlari lagi dengan benar, dan semua itu karena kebodohanku yang mencintaimu.
Hari itu mendung gelap, tapi pertandingan basket antar sekolah tetap dilaksanakan, aku saat itu dimainkan sebagai starter, sebelumnya memang hujan belum turun namun dimenit ke 20 hujan turun gerimis memang, namun jika tidak hati-hati bisa jatuh terpeleset. Dan itulah yang membuatku seperti ini, aku melihat dia, mendekati lapangan basket ketika air hujan itu mulai mengenang, sehingga aku tak konsen berlari, ataupun bertanding. Dan saat itu seorang pemain lawan menabrakku dan akhirnya aku terjatuh tak sadarkan diri.
Saat bangun aku sudah ada di UKS sekolah, dokter di UKS bilang bahwa kakiku mengalami patah tulang dan kemungkinan besar tidak bisa berlari dengan cepat lagi. Sejak saat itu aku mulai jarang pergi ke lapangan basket, meskipun aku masih sering bermain basket di hari minggu ketika lapangan basket tidak ada yang memakai.Yah, hal yang seperti itu memang harus dilupakan bukan? Tapi mencintaimu, tak semudah itu.
Aku menunggu hujan reda di koridor depan kelas, bersama sahabatku Resha. Kadang kami tertawa menertawakan hal yang mungkin bagi orang lain tidak lucu, tiba-tiba Resha menyikut lenganku,
“Eh, Ra itu Nasa lagi duduk didepan kelasnya, kayaknya nunggu hujan reda juga deh.”
Aku menoleh kearah kiri, dan benar saja, Nasa tengah duduk dengan tenang mempehatikan hujan yang tak berhenti. Aku hanya tersenyum kecut kepada Resha, hanya dia yang tahu tentang perasaan sukaku ini. Melihat tak puas dengan reaksiku dia kemudian bertanya lagi.
“Kamu yakin mau ngelupain cinta pertama dalam diam ini?” Resha tampak tak senang melihat ekpresiku yang berubah diam.
“Mau gimana lagi, aku lebih suka mencintai dalam diam, Sa.” Setelah mengucapkan itu aku diam. Apakah benar aku lebih suka begini, cinta dalam diam.
Aku melihat ke arah Nasa lagi, sekilas aku melihatnya tengah melihat ke arahku dan Resha, kemudian dia tersenyum dan aku segera membuang muka. Mungkin sekarang wajahku merah kayak tomat.
“Kenapa lu, Ra?” Resha agak bingung, namun segera mengerti ketika melihat Nara berjalan kearah kelasku. “Ra, dia kesini loh.” Kata Resha menyikut lenganku sambil tersenyum jahil. Sakit banget.
“Hai Lira, hai Resha.” Sapanya dengan nada datar seperti biasanya. Kadang aku bingung dengan tingkah Nasa yang selalu tenang dalam keadaan apa saja. Dan itulah yang membuatku menyukainaya, dia tenang, punya banyak teman, dan pandai. Buktinya dia rangking 5 besar angkatan.
“Resha bisa bicara bentar?” Tanya Nasa kepada Resha, memang Resha dan Nasa adalah teman ketika kelas sepuluh dulu. Jadi wajar saja mereka akrab, meskipun begitu dalam hatiku ada sedikit rasa iri dan sejenisnya, tapi gimana lagi. Ini kan cinta dalam diam.
“Lira, Resha-nya tak pinjam dulu ya.” Kata Nasa sebelum mereka meninggalkanku untuk bicara agak jauh dariku.
Suara gemercik air semakin keras, ternyata hujan memang tak berniat berhenti namun sebaliknya, semakin deras. Aku jadi tidak mendengar percakapan Resha dan Nasa. Ah benar benar menyebalkan. 

******
Aku Nasa, umurku tujuh belas tahun, sekarang sudah jam pulang sekolah, dan aku masih ada di depan kelas, menunggu hujan dan memperhatikan seseorang di depan kelas lain. sebelumnya aku sangat menyukai hujan. Karena ketika hujan banyak daerah yang membutuhkan air menjadi tidak kekeringan, karena hujan aku bisa melihat ke agungan Tuhan. Namun semenjak hari itu, aku tidak lagi menyukai hujan, semenjak kejadian yang membuat hatiku ikut terluka.
Mungkin hampir setahun yang lalu hari sial itu terjadi. Hari itu memang mendung sangat gelap, aku mendapat kabar bahwa dia akan ikut bertanding dalam pertandingan basket persahabatan dengan SMA lain. Karena hari itu aku ada rapat OSIS aku terlambat datang ke lapangan basket, ketika aku datang hujan mulai turun, meskipun gerimis aku tetap berjalan mendekati teman teman yang lain yang juga mendukung tim basket kami, dan aku melihatnya pemain bernomor punggung 12 tengah bermain dilapangan, aku melihat betapa semangatnya gadis itu dalam berlari, dan juga rambut yang hampir basah semua. Dan yang paling aku ingat adalah ketika gadis itu jatuh tertabrak pemain lawan yang berbadan lebih besar darinya. Tanpa disuruh aku segera lari ketengah lapangan kearah gadis yang tengah dikerumuni pemain lainnya yang tengah membantunya duduk, gadis itu memejamkan mata, ia tak sadarkan diri. Aku segera membawanya ke UKS di ikuti beberapa pemain lainnya. Pada saat itu hatiku tak menentu, jujur aku merasa sangat sakit, melihatnya tak berdaya seperti ini. Melihatnya kesakitan. Sesampainya di UKS dokter mengatakan bahwa ia mengalami patah tulang dan kemungkinan tak bisa berlari dengan baik. Mendengar itu aku begitu terpukul. Aku tahu bahwa basket adalah kesukaannya selain bermain gitar, dan melukis. Bagaimana bisa gadis kecil itu bisa menerimanya.
Setelah agak tenang aku melihat teman sekelasku ketika kelas sepuluh, Resha tengah duduk disamping gadis itu. Ia dengan sabar menuggu gadis bernomor 12 itu sadar. Ia sedikit kaget ketika melihatku ada di UKS dengan baju basah.
“Nasa? kamu kenapa ada disini?” Tanya Resha sedikit curiga.
“Oh. Aku yang membawanya kesini.” Jawabku singkat, membuat Resha semakin curiga.
“Tapi kenapa kamu yang membawanya, buat apa kamu ada di lapangan basket? Seingatku kamu tidak terlalu suka basket, atau jangan-jangan… kamu..” pertanyaan Resha memang membuatku terpojok. Dan aku hanya bisa tersenyum kecut.
Setelah itu hanya Resha yang tahu kenapa aku rela berbasah kuyup demi gadis bernomor 12 itu. Dan dia berjanji tidak akan mengatakan kepada siapapun tentang hal itu. Termasuk gadis itu.
Hari ini aku melihat gadis itu, Lira tengah tertawa bersama Resha. Sudah lama aku tidak melihatnya seperti itu, apa lagi saat hujan-hujan begini. Sejak kejadian hari itu tepatnya. Sebelumnya aku sering melihatnya tertawa riang, saat pertama kali aku melihatnya adalah ketika dia tengah tertawa riang  saat berhasil memasukkan bola ke ring di pertandingan mewakili di kompetisi bola basket se-Kota 2 tahun lalu.
Secara tak sadar aku tersenyum sendiri. Bagaimana bisa setelah gadis itu tidak bermain basket, aku masuk klub basket sekolah, dan aku tahu bahwa gadis itu tidak benar-benar meninggalkan basket, karena setiap hari minggu aku selalu ke sekolah melihat gadis itu dari lantai dua gedung sekolah, melihat usaha gadis itu untuk bisa bermain lagi.
Apakah aku harus memberanikan diri sekarang? Aku ingin mengubah pandangannya dan pandanganku tentang hujan menjadi lebih baik. Aku memberanikan diri berjalan kearah Lira dan Resha, kemudian memutuskan memanggil Resha, karena tiba-bita jantungku berdegup semakin kencang.
“Hai Lira, hai Resha.” Aku menyapanya, meskipun tampak kaku. Aku melihatnya tersenyum sekilas.
“Resha bisa bicara bentar?” Tanyaku pada Resha, sementara itu aku yakin Resha menahan tawa. Tapi aku mencoba menghiraukannya
“Lira, Resha-nya tak pinjam dulu ya.” Kemudian aku pergi menjauh dari Lira, sementara itu Resha di belakangku mengikuti.
“Ada apa, Sa?” Tanya Resha, yang aku yakini bahwa dia tengah menahan tawa.
“Re, ini serius. Aku ingin dia tahu tentang aku.” Kataku serius.
“Baguslah kalau begitu.”kata resha. “Kalau begitu sebaiknya kau cepat, sebelum hujan makin deras.”

*****
Hampir sepuluh menit Resha dan Nasa berbicara, aku mulai tak sabar ingin mengetahui apa yang mereka bicarakan. Meskipun aku tau Resha takkan menceritakan apa-apa. Beberapa saat kemudian Resha berjalan kembali kearahku, diwajahnya tersirat kebahagiaan.
“Ra, aku pulang duluan ya, tiba-tiba kakakku minta diantar beli sepatu, maaf banget ya ra, aku harus pergi. Kamu hati hati ya, tunggu sampai hujan reda. Bye bye” kata resha sambil mengemasi barang-barangnya. Kemudian melambai dan menerjang hujan  dengan payung transparannya.
Lima menit setelah Resha pergi, aku masih menuggu di kursi depan kelas. Sekolah  mulai sepi, banyak murid yang mungkin sudah lelah menunggu hujan yang tak reda-reda.
“Hai lira.” Sapa seseorang dari arah kiri ku. Aku menoleh untuk melihat siapa yang memanggilku, disampingku sudah berdiri dengan tegap, Nasa. Aku sempat kaget saat melihatnya namun segera bertingkah seolah-olah dia adalah murid biasa seperti yang lain.
“Hai Nasa, Rhesa barusan tadi pulang.” Kataku mencoba biasa saja.
Nasa tersenyum sebentar kemudian berjalan dan duduk di samping kanan ku. Aku sedikit kaget, karena sebelumnya aku tak pernah bicara berdua dengannya. 
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Maaf aku belum bisa menentukan ending cerpen ini :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar