Rabu, 29 Januari 2014

44. Dia



“Gie, seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian…. Bersedialah menerima nasib ini. Kalau kau mau bertahan sebagai intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan.”-Catatan Seorang Demonstran

Kata kata di atas aku mengambilnya dari sebuah buku berjudul “Catatan Seorang Demonstran” halaman 369. Salah satu dari banyak buku yang mengisahkan sosok bernama Gie, Soe Hok Gie. Iya, namanya mungkin jarang kita dengar, asing bagi telinga anak muda abad 21 ini, namun nama itu tak pernah terhapus dari ingatanku. Nama yang meskipun yang punya sudah tidak ada di dunia hampir setengah abad ini akan tetap selalu dalam ingatanku. Meskipun Gie sudah lama pergi, namun pemikirannya masih saja mempengaruhiku, anak yang masih berumur 17 tahun. Kegigihannya dalam membela apa yang ia anggap benar dan adil tanpa condong ke golongan adalah salah satu hal yang membuat ku mengaguminya. Sangat.
Gie, dia adalah pemuja mahameru, akupun juga. Aku mengetahui bahwa nama puncak semeru adalah mahameru karena aku mendengar kisahnya. Aku ingin mendaki gunung gede pangrango juga karena membaca puisinya. Mandalawangi.
Hal yang mungkin bisa diteladani darinya adalah, rasa nasionalisnya yang tinggi, rasa ingin membela kebenarannya yang besar, yang tidak mudah kita temui di generasi sekarang. sampai sampai dengan membaca bukunya saja aku jatuh cinta.

“Lebih baik diasingkan daripada menyerah dalam kemunafikan.” –Soe Hok Gie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar