Air
hujan menetes pelan, gerimis akhir akhir ini datang dengan intensitas yang
lebih banyak, hampir setiap hari. Dan aku tidak suka itu, karena akan banyak
hal yang terganggu karena hujan. Aku tak bisa bermain basket, tak bisa pergi
kemanapun, dan harus basah kuyup ketika pulang kerumah, dan yang paling kubenci
adalah aku harus mengingat kejadian setahun yang lalu. Sama seperti hari ini,
saat air dengan bangganya jatuh ketanah. Jam pulang sekolah sudah lama berdering,
tapi banyak murid yang masih di sekolah, mungkin menunggu hujan reda.
Hampir
setahun yang lalu, ketika aku pertama kali merasakan perasaan yang aneh mulai
merasuk, dan juga ketika aku mulai tak bisa berlari dengan sempurna lagi. Dua
kabar yang saling bertolak belakang yang hampir membuatku frustasi kala itu.
Aku senang karena ketika tahu bahwa rasa
itu adalah cinta, kepadamu. Dan hari itu juga aku harus menerima kenyataan
bahwa aku tak bisa berlari lagi dengan benar, dan semua itu karena kebodohanku
yang mencintaimu.
Hari
itu mendung gelap, tapi pertandingan basket antar sekolah tetap dilaksanakan,
aku saat itu dimainkan sebagai starter,
sebelumnya memang hujan belum turun namun dimenit ke 20 hujan turun gerimis
memang, namun jika tidak hati-hati bisa jatuh terpeleset. Dan itulah yang
membuatku seperti ini, aku melihat dia, mendekati lapangan basket ketika air
hujan itu mulai mengenang, sehingga aku tak konsen berlari, ataupun bertanding.
Dan saat itu seorang pemain lawan menabrakku dan akhirnya aku terjatuh tak
sadarkan diri.
Saat
bangun aku sudah ada di UKS sekolah, dokter di UKS bilang bahwa kakiku
mengalami patah tulang dan kemungkinan besar tidak bisa berlari dengan cepat
lagi. Sejak saat itu aku mulai jarang pergi ke lapangan basket, meskipun aku
masih sering bermain basket di hari minggu ketika lapangan basket tidak ada
yang memakai.Yah, hal yang seperti itu memang harus dilupakan bukan? Tapi
mencintaimu, tak semudah itu.
Aku
menunggu hujan reda di koridor depan kelas, bersama sahabatku Resha. Kadang
kami tertawa menertawakan hal yang mungkin bagi orang lain tidak lucu,
tiba-tiba Resha menyikut lenganku,
“Eh,
Ra itu Nasa lagi duduk didepan kelasnya, kayaknya nunggu hujan reda juga deh.”
Aku
menoleh kearah kiri, dan benar saja, Nasa tengah duduk dengan tenang
mempehatikan hujan yang tak berhenti. Aku hanya tersenyum kecut kepada Resha,
hanya dia yang tahu tentang perasaan sukaku ini. Melihat tak puas dengan
reaksiku dia kemudian bertanya lagi.
“Kamu
yakin mau ngelupain cinta pertama dalam diam ini?” Resha tampak tak senang
melihat ekpresiku yang berubah diam.
“Mau
gimana lagi, aku lebih suka mencintai dalam diam, Sa.” Setelah mengucapkan itu
aku diam. Apakah benar aku lebih suka
begini, cinta dalam diam.
Aku
melihat ke arah Nasa lagi, sekilas aku melihatnya tengah melihat ke arahku dan Resha,
kemudian dia tersenyum dan aku segera membuang muka. Mungkin sekarang wajahku
merah kayak tomat.
“Kenapa
lu, Ra?” Resha agak bingung, namun segera mengerti ketika melihat Nara berjalan
kearah kelasku. “Ra, dia kesini loh.” Kata Resha menyikut lenganku sambil
tersenyum jahil. Sakit banget.
“Hai
Lira, hai Resha.” Sapanya dengan nada datar seperti biasanya. Kadang aku
bingung dengan tingkah Nasa yang selalu tenang dalam keadaan apa saja. Dan
itulah yang membuatku menyukainaya, dia tenang, punya banyak teman, dan pandai.
Buktinya dia rangking 5 besar angkatan.
“Resha
bisa bicara bentar?” Tanya Nasa kepada Resha, memang Resha dan Nasa adalah
teman ketika kelas sepuluh dulu. Jadi wajar saja mereka akrab, meskipun begitu
dalam hatiku ada sedikit rasa iri dan sejenisnya, tapi gimana lagi. Ini kan
cinta dalam diam.
“Lira,
Resha-nya tak pinjam dulu ya.” Kata Nasa
sebelum mereka meninggalkanku untuk bicara agak jauh dariku.
Suara gemercik air semakin keras,
ternyata hujan memang tak berniat berhenti namun sebaliknya, semakin deras. Aku
jadi tidak mendengar percakapan Resha dan Nasa. Ah benar benar menyebalkan.
******
Aku
Nasa, umurku tujuh belas tahun, sekarang sudah jam pulang sekolah, dan aku
masih ada di depan kelas, menunggu hujan dan memperhatikan seseorang di depan
kelas lain. sebelumnya aku sangat menyukai hujan. Karena ketika hujan banyak
daerah yang membutuhkan air menjadi tidak kekeringan, karena hujan aku bisa
melihat ke agungan Tuhan. Namun semenjak hari itu, aku tidak lagi menyukai
hujan, semenjak kejadian yang membuat hatiku ikut terluka.
Mungkin
hampir setahun yang lalu hari sial itu terjadi. Hari itu memang mendung sangat
gelap, aku mendapat kabar bahwa dia akan ikut bertanding dalam pertandingan
basket persahabatan dengan SMA lain. Karena hari itu aku ada rapat OSIS aku
terlambat datang ke lapangan basket, ketika aku datang hujan mulai turun,
meskipun gerimis aku tetap berjalan mendekati teman teman yang lain yang juga
mendukung tim basket kami, dan aku melihatnya pemain bernomor punggung 12
tengah bermain dilapangan, aku melihat betapa semangatnya gadis itu dalam
berlari, dan juga rambut yang hampir basah semua. Dan yang paling aku ingat
adalah ketika gadis itu jatuh tertabrak pemain lawan yang berbadan lebih besar
darinya. Tanpa disuruh aku segera lari ketengah lapangan kearah gadis yang
tengah dikerumuni pemain lainnya yang tengah membantunya duduk, gadis itu
memejamkan mata, ia tak sadarkan diri. Aku segera membawanya ke UKS di ikuti
beberapa pemain lainnya. Pada saat itu hatiku tak menentu, jujur aku merasa
sangat sakit, melihatnya tak berdaya seperti ini. Melihatnya kesakitan.
Sesampainya di UKS dokter mengatakan bahwa ia mengalami patah tulang dan
kemungkinan tak bisa berlari dengan baik. Mendengar itu aku begitu terpukul.
Aku tahu bahwa basket adalah kesukaannya selain bermain gitar, dan melukis.
Bagaimana bisa gadis kecil itu bisa menerimanya.
Setelah
agak tenang aku melihat teman sekelasku ketika kelas sepuluh, Resha tengah
duduk disamping gadis itu. Ia dengan sabar menuggu gadis bernomor 12 itu sadar.
Ia sedikit kaget ketika melihatku ada di UKS dengan baju basah.
“Nasa?
kamu kenapa ada disini?” Tanya Resha sedikit curiga.
“Oh.
Aku yang membawanya kesini.” Jawabku singkat, membuat Resha semakin curiga.
“Tapi
kenapa kamu yang membawanya, buat apa kamu ada di lapangan basket? Seingatku
kamu tidak terlalu suka basket, atau jangan-jangan… kamu..” pertanyaan Resha memang
membuatku terpojok. Dan aku hanya bisa tersenyum kecut.
Setelah
itu hanya Resha yang tahu kenapa aku rela berbasah kuyup demi gadis bernomor 12
itu. Dan dia berjanji tidak akan mengatakan kepada siapapun tentang hal itu.
Termasuk gadis itu.
Hari
ini aku melihat gadis itu, Lira tengah tertawa bersama Resha. Sudah lama aku
tidak melihatnya seperti itu, apa lagi saat hujan-hujan begini. Sejak kejadian
hari itu tepatnya. Sebelumnya aku sering melihatnya tertawa riang, saat pertama
kali aku melihatnya adalah ketika dia tengah tertawa riang saat berhasil memasukkan bola ke ring di
pertandingan mewakili di kompetisi bola basket se-Kota 2 tahun lalu.
Secara
tak sadar aku tersenyum sendiri. Bagaimana bisa setelah gadis itu tidak bermain
basket, aku masuk klub basket sekolah, dan aku tahu bahwa gadis itu tidak
benar-benar meninggalkan basket, karena setiap hari minggu aku selalu ke
sekolah melihat gadis itu dari lantai dua gedung sekolah, melihat usaha gadis
itu untuk bisa bermain lagi.
Apakah aku harus memberanikan diri
sekarang? Aku ingin mengubah pandangannya dan pandanganku
tentang hujan menjadi lebih baik. Aku memberanikan diri berjalan kearah Lira
dan Resha, kemudian memutuskan memanggil Resha, karena tiba-bita jantungku
berdegup semakin kencang.
“Hai
Lira, hai Resha.” Aku menyapanya, meskipun tampak kaku. Aku melihatnya
tersenyum sekilas.
“Resha
bisa bicara bentar?” Tanyaku pada Resha, sementara itu aku yakin Resha menahan
tawa. Tapi aku mencoba menghiraukannya
“Lira,
Resha-nya tak pinjam dulu ya.” Kemudian aku pergi menjauh dari Lira, sementara
itu Resha di belakangku mengikuti.
“Ada
apa, Sa?” Tanya Resha, yang aku yakini bahwa dia tengah menahan tawa.
“Re,
ini serius. Aku ingin dia tahu tentang aku.” Kataku serius.
“Baguslah kalau begitu.”kata resha.
“Kalau begitu sebaiknya kau cepat, sebelum hujan makin deras.”
*****
Hampir
sepuluh menit Resha dan Nasa berbicara, aku mulai tak sabar ingin mengetahui
apa yang mereka bicarakan. Meskipun aku tau Resha takkan menceritakan apa-apa. Beberapa
saat kemudian Resha berjalan kembali kearahku, diwajahnya tersirat kebahagiaan.
“Ra,
aku pulang duluan ya, tiba-tiba kakakku minta diantar beli sepatu, maaf banget
ya ra, aku harus pergi. Kamu hati hati ya, tunggu sampai hujan reda. Bye bye” kata resha sambil mengemasi
barang-barangnya. Kemudian melambai dan menerjang hujan dengan payung transparannya.
Lima
menit setelah Resha pergi, aku masih menuggu di kursi depan kelas. Sekolah mulai sepi, banyak murid yang mungkin sudah
lelah menunggu hujan yang tak reda-reda.
“Hai
lira.” Sapa seseorang dari arah kiri ku. Aku menoleh untuk melihat siapa yang
memanggilku, disampingku sudah berdiri dengan tegap, Nasa. Aku sempat kaget
saat melihatnya namun segera bertingkah seolah-olah dia adalah murid biasa
seperti yang lain.
“Hai
Nasa, Rhesa barusan tadi pulang.” Kataku mencoba biasa saja.
Nasa
tersenyum sebentar kemudian berjalan dan duduk di samping kanan ku. Aku sedikit
kaget, karena sebelumnya aku tak pernah bicara berdua dengannya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Maaf aku belum bisa menentukan ending cerpen ini :)